Kamis, Februari 19, 2009

BERSIH-BERSIH DOMPET

Akhir pekan lalu saya menulis status di facebook, “Weekend enaknya kemana yah?” Berbagai tanggapan beragam datang dari sahabat-sahabat saya, antara lain: Hananto menulis, asyiknya nongkrong ma bolo-bolo. Lestari Yumi menulis, “Weekend? Minum kopi, makan pisang goreng, baca buku...sambil kakinya dipijit, meni pedi, pokoknya manjain diri di spa ah...feel like heaven...” Rahma Ayu, “Enaknya nge-mall”. Sedangkan Yolanda menulis, “Nonton film di 21 seru kali yee apalagi bareng ma yayang tayang”
Dari sebagian tanggapan di atas menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia terbiasa dengan pola gaya hidup yang konsumtif. Bahkan, budaya konsumtif ini adalah hasil dari pendidikan di masa kecil kita yang tanpa kita sadari.Buktinya adalah berkembangnya jargon di tengah-tengah masyarakat kita yaitu muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga menjadi absurd dan sangat naif. Atau contoh lainnya, tentunya Anda pernah nonton topeng monyet dan kita mengenal sosok Si Sarimin, sang monyet lucu yang dengan lincah berakrobat dan melakukan atraksi menarik. Saya yakin istilah “Sarimin pergi ke pasar” sering didengung-dengungkan oleh si empunya monyet dan menjadi bahan olok-olokan diantara masyarakat sehingga ke dua hal di atas menjadi trigger yang memberikan suatu pemahaman untuk senantiasa membeli atau mengkonsumsi. Terutama di akhir pekan seolah-olah sebagian besar masyarakat berlomba bersih-bersih dompet dengan mengajak keluarga pergi berlibur, jalan-jalan dengan alasan berekreasi menghilangkan penat selepas bekerja sepanjang minggu. Bahkan banyak media melangsir bahwa peredaran uang meningkat di setiap akhir pekan biasanya di pusat-pusat perbelanjaan dan pusat-pusat hiburan.
Memprihatinkan, di tengah kehidupan ekonomi masyarakat yang menghadapi berbagai persoalan seperti kian meluasnya kemiskinan dan tingginya angka pengangguran, kita justru dengan mudah melihat kenyataan yang bertolak belakang bila memperhatikan gaya hidup sebagian masyarakat dan fenomena yang paradoks dalam segi konsumtif. Dikatakan bertolak belakang karena dua realitas tersebut hidup berdampingan dan sulit dijelaskan dengan logika ekonomi, dan disebut fenomena paradoks karena tidak memadainya penjelasan logika standar (modern) untuk memahami budaya konsumen secara umum dan khususnya yang terjadi di tengah masyarakat kita, bangsa Indonesia. Menurut Elfitra Baikoeni dalam artikel Telaah Kritis Konsumerisme Masyarakat di Tengah Ancaman Meluasnya Kemiskinan menyatakan bahwa fenomena konsumtif dapat kita temukan dalam sejumlah kasus-kasus di bawah ini:
• Meskipun ekonomi dikatakan lesu dan angka penduduk yang menganggur tinggi, jumlah penjualan mobil terus meningkat. Di jalan raya kota-kota besar yang selalu macet, terlihat dipenuhi oleh mobil-mobil keluaran terbaru. Tahun 2004 saja, ada sekitar 420.000 unit penjualan untuk hanya mobil baru.
• Berdasarkan data kredit perbankan, dari total kredit Rp. 531 triliun, sekitar Rp. 146 triliun merupakan kredit konsumsi. Pihak bank meraup banyak keuntungan dari kredit konsumsi ini yang dengan gencarnya memberi kredit seperti kredit pemilikan rumah, mobil dan pemilikan HP (hand phone).
• Menurut catatan resmi, penduduk Indonesia yang memilki HP (hand phone) berjumlah sekitar 50 juta orang. Tidak mengherankan kalau Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar potensial di Asia untuk penjualan produk telekomunikasi. Seandainya rata-rata biaya pulsa yang dikeluarkan setiap orang satu bulannya Rp. 100.000,- saja, berarti ada sekitar Rp. 60 triliun pengeluaran penduduk dalam setahunnya untuk hanya penggunaan telepon selular.
• Ketika di berbagai wilayah masyarakat bawah menderita berbagai penyakit kekurangan pangan, seperti busung lapar, kurang gizi, dan sejenisnya, sementara masyarakat kelas atas semakin banyak menderita ”penyakit” overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas. Untuk mengatasinya mereka menjalani operasi sedot lemat, bedah plastik, dan kini di kota-kota menjamur klinik kebugaran, kecantikan, skin center, spa dan sejenisnya.
• Diperkirakan ada sekitar 5-6 juta warga Indonesia yang berpergian ke luar negeri setiap tahunnya. Sebagian besar dari mereka hanya sekedar untuk liburan, rekreasi atau shopping (belanja).
Itu adalah sebagian kecil dan sekelumit saja dari contoh-contoh yang ada, betapa banyak sekali ketimpangan dan paradoks yang terjadi dalam masyarakat kita. Akan tetapi berbagai masalah dan persoalan seputar kemiskinan dan masalah-masalah lain yang dihadapi rakyat, bukan berarti mereka terbebas dari pengaruh gaya hidup global dan budaya konsumtif. Pengaruh globalisasi yang masuk melalui pintu-pintu sistem ekonomi kapitalisme yang sudah terlanjur kita anut, ternyata sudah merambah sampai ke pelosok perdesaan masyarakat kita, termasuk juga kepada golongan miskin.
Jadi, bagaimana rencana Anda akhir pekan depan, apakah mau bersih-bersih dompet untuk investasi leher ke bawah? Bagaimana jika Anda menginvestasikan isi dompet, pikiran dan waktu anda untuk wilayah “leher ke atas”. Karena pikiran kita ini adalah aset yang tidak akan bisa dicuri oleh orang lain. Berinvestasi untuk diri sendiri bisa jadi dengan membaca buku, majalah, mendengarkan kaset, CD, DVD pengembangan diri atau browsing situs-situs bermanfaat. Berinvestasi untuk diri sendiri bisa juga dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkualitas, mengamati segala sesuatu, bergaul dengan para pemenang, orang yang sukses atau lingkungan yang positif. Tentunya jangan lupa juga berinvestasi untuk jiwa kita. Berinvestasi juga untuk kesehatan kita. Saya yakin Anda akan jauh lebih bermanfaat karena banyak nilai tambah yang bisa Anda dapatkan tanpa harus membersihkan seluruh isi dompet anda alias murah atau bahkan gratis. Selamat bersih-bersih dompet guna investasi lehar ke atas.

Salam Penuh Syukur
Emma

Tidak ada komentar: