Dilarang Miskin
(oleh Muslih)
Modal untuk membuat manusia cukup mahal. Berapa nilai aktiva tangan kita, kaki, mata, ginjal, otak dan semua anggota badan kita secara fisik. Belum lagi yang tidak nampak (intangible asset), seperti perasaan, kemampuan, berfikir, mendengar, melihat dan masih banyak lagi yang kalau kita ingin menghitungnya niscaya tak akan pernah mampu mengkalkulasinya (Qur’an). Nah, kalau aktiva tetap yang sudah diinvestasikan Allah sangat mahal tersebut tidak menghasilkan, tidak produktif dan karena kita jatuh miskin, betapa dosanya kita, betapa ruginya kita.
Dalam ilmu ekonomi kita mengenal istilah bisnis yang disebut dengan ROI (Return On Investment) atau balik modalnya suatu usaha. Kalau kita miskin bahkan tidak saja miskin harta, tetapi juga miskin hati, apa tidak keterlaluan. Padahal Rasulullah telah mengingatkan dengan haditsnya “Kadal faqru an yakuna kufran” (kemiskinan dan kefakiran hanya akan menyebabkan kekufuran). Artinya kemiskinan itu sangat berpotensi dosa. Jadi kapan balik modalnya kita?
Kita lihat fakta yang terjadi di masyarakat. Betapa banyak kejahatan kemanusiaan yang terjadi akibat adanya kemiskinan dan kefakiran. Media masa gencar memberitakan tindak kejahatan, dosa dan kemaksiatan yang mengatasnamakan kemiskinan. Tidak saja dosa personal tetapi beberapa sudah menjurus pada dosa komunal. Perkelahian antar warga karena rebutan lahan parkir, keributan antrian sembako, minyak tanah dan sejenisnya acapkali menghiasi pemberitaan media.
Yang lebih tragis lagi , pada skala makro, ada banyak potensi disintegrasi bangsa juga mengatasnamakan kemiskinan dan ketimpangan pembangunan. Kita lihat tuntutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Papua Merdeka, Timor-Timur dan semacamnya, selalu saja yang mereka rasakan adalah kefakiran dan ketidakmerataan pembagian roti pembangunan. Alam sekitarnya kaya,subur dan potensial, tetapi keuntungan dihisap oleh pusat bahkan oleh pihak asing. Sementara rakyat sekitarnya dibiarkan melarat dan sekarat. Salah siapa?, tak perlu mencari kambing hitam. Karena bukan itu yang akan kita bahas sekarang.
Semua harus setuju bahwa kemiskinan adalah musuh kita. Karena tidak satu pun ajaran Tuhan dalam kitab agama-agama yang mengizinkan kemiskinan melanda umatnya. Tanggung jawab serta kepedulian terhadap keluarga dan sesama, zakat, infaq, sadaqah, haji, menuntut ilmu, dan melakukan penelitian adalah bukti bahwa semua itu tidak akan mungkin berjalan tanpa didukung kekayaan. Apapun bentuk kekayaan itu. Masalahnya sekarang bagaimana caranya agar kita tidak miskin?
Berikut beberapa cara agar kita terhindar dari kemiskinan. Pertama kita harus yakin dengan janji Allah yang tak pernah wan prestasi (ingkar janji). “Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka akan ditunjukkan jalan keluar (way out) dari berbagai masalah dan akan diberi rejeki dari arah yang tak disangka-sangka” (Qur’an, 65 : 3). Kalau Allah yang Mahakuasa berbuat apapun sudah menjanjikan demikian, nampaknya tidak pantas kita merasa ragu atas janji tersebut. Cicak saja yang tak bisa terbang bisa hidup, nyamuk yang seperti itu bisa berkembang biak sedemikian banyak, dan banyak lagi contoh yang ada di sekitar kita. Semua makhluk telah dijamin rejekinya oleh Allah. Tinggal mau atau tidak kita mengambilnya.
Kedua, dengan modal yang sangat besar untuk menciptakan kita seperti diurai di atas, kita harus bersyukur kepada yang membuatnya. Berterima kasih atas segala nikmat yang tidak saja diberi ketika kita minta, tetapi juga banyak nikmat yang diberi tanpa kita memintanya.. Dan puncak dari syukur adalah bekerja keras. Sebagai apapun kita, harus kita tunjukkan kepada Tuhan kita bahwa kita bekerja dengan tulus tanpa mengharap imbalan. Tentu kalau kita sudah bisa melakukan ini, Allah tidak akan tinggal diam. Pasti Dia akan memberikan Hidayah (hadiah) kepada kita. Yang pasti hadiah itu bernama rejeki. Rejeki bukan saja berupa uang dan harta tetapi bisa juga berupa kesehatan, keimanan, kemudahan dan ketenangan jiwa. Bukankah sebenarnya itu yang selama ini kita cari?. Percuma memiliki kekayaan dunia yang melimpah kalau sakit-sakitan, resah, tidak bisa tidur dan ketidaktenangan lainnya, Naudzubillah. Tetapi yakinlah bahwa harta pun kita juga akan diberi-Nya. Amin.
Ketiga, Nyatakan dalam pikiran alam bawah sadar (sub-consious) kita, bahwa mencari uang itu gampang. Nyatakan kepada sekitar kita, teman kerja kita, dan keluarga kita bahwa mencari uang itu gampang. Hal ini sebagai manifestasi dari keyakinan kita bahwa Allah kaya, Tuhan Mahakuasa. Tentu ini bukan untuk melakukan kesombongan yang adalah satu-satunya sifat Allah yang tidak boleh ditiru oleh umatnya. Tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk melakukan semua itu. Allah serba bisa. Mengiringi langkah ketiga ini harus kita buang jauh-jauh dua kata yang disebut dengan malas dan gengsi. Dua hal inilah yang kadang membuat kita gamang, ragu dan tidak yakin. Buktikan bila telah melaksanakan ini, pasti bisa makan dan tak mungkin kelaparan. Swear..!!.
Keempat, Jangan mengeluh, karena mengeluh bukan saja tidak akan merubah keadaan, tetapi justru akan semakin membuat rumit permasalahan. Jangan bilang-bilang saya beritahu suatu rahasia. Kalau kita ingin mengeluh, mengeluhlah kepada Tuhan kita. Kalau Anda orang Islam, shalatlah tahajud dimana orang lain sedang terlelap dalam mimpi. Mengeluhlah kepada Allah, adukan segala yang Anda alami selama ini. Dan usahakan agar bisa menangis sejadi-jadinya.. Ingat, manusia adalah makhluk yang ditakdirkan mengeluh. “Innal insana khuliqa halu’an” (sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah). Jadi kalau kita tidak curahkan pada momen yang tepat (momen tahajud) pasti kita hanya menjadi orang yang suka mengumbar keluhan. Padahal kita tahu bahwa orang yang kita lapori itu (kita mengeluh kepadanya itu) juga banyak masalah dan belum tentu bisa memberi solusi. Keluhkan saja kepada Allah yang mampu untuk berbuat apa saja. Siap?
Kelima, Rajin-rajinlah memberi (men-share) apapun yang kita miliki. Tidak punya harta dengan tenaga, bisa juga dengan pemikiran, solusi dan sejenisnya.. Apalagi kalau kita mau memberi dalam bentuk materi. Rasulullah SAW sering puasa sunah hanya karena tidak ada yang bisa dimakan hari itu. Tetapi Rasulullah SAW tidak pernah mengecewakan orang yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan.
Allah telah berjanji bahwa orang yang memberikan kebaikan satu akan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Bahkan dalam ayat lain dalam Al Qur’an Allah menjanjikan balasan satu sadaqah kita dengan tujuh yang dikalikan dengan seratus. Bertindaklah seperti orang kaya. Mereka bersedekah, mereka memberi dan mereka tidak pernah menghitung berapa yang telah diberikan kepada sesama. Mereka pun tidak berharap pula balasan dari Allah SWT. Mereka hanya berharap ridha Allah menaungi dirinya. Jadi kalau ada orang yang selama ini kita anggap kaya belum demikian, tanyakan mengapa?. Jangan sampai orang kaya itu karena mendapat istijrad yaitu orang yang dibiarkan oleh Allah untuk mampu berbuat maksiat yang akan dibalas di neraka kelak atau sebentar lagi di dunia ini.
So, setelah semuanya paham dengan tulisan sederhana ini, maka keyakinan dan persamaan persepsi harus terbentuk diantara kita. Bahwa miskin adalah berpotensi dosa, , miskin adalah musuh kita, dan miskin adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh pola pikir manusia. Merasa kaya karena telah dikaruniai nikmat tak terbatas Allah dengan berbuat baik sebanyak-banyaknya, membuktikan bahwa kita berterima kasih kepada-Nya. Dan kondisi inilah yang tidak saja akan mengangkat derajat kita disisi Allah, tetapi juga akan mengundang kemudahan dalam kita menjalani hidup di dunia yang serba sementara ini. Setidaknya kita tunjukkan kepada Allah bahwa kita Break event Point (BEP) atau dalam bahasa jawanya pak puk, tidak rugi dan tidak untung Hehehehe.. dan semua itu diketahui ketika kita berhadapan dengan Mizan, timbangan amal kita selama di dunia. Semoga apa yang kita harapkan dan cita-citakan akan menjadi kenyataan (come true). Amin Ya Rabbal Alamin.
Senin, Desember 15, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar